Kultum Ramadhan: Puasa sebagai Bentuk Kejujuran Hamba pada Tuhannya
Bulan Ramadhan menjadi momentum yang sangat di nanti oleh umat Islam sedunia. Bahkan dua bulan sebelum kedatangannya, ada doa khusus yang selalu di senandungkan; Allahumma bariklana fi Rajaba wa Syaâbana wa ballighna Ramadhana (Ya Allah, berkahilah [umur] kami di bulan Rajab dan Syaban, serta sampaikanlah [umur] kami hingga bulan Ramadan].
Pada bulan agung tersebut terdapat banyak kemuliaan dan keistimewaan, di antaranya adalah dilipatgandakan amal ibadah, dibukanya pintu surga, ditutupnya pintu neraka, dan sebagainya. Momentum luar biasa ini tentu saja menjadi peluang besar bagi umat Islam untuk memaksimalkan ketaatan kepada-Nya.
Dalam ibadah puasa di bulan Ramadhan, ada sebuah nilai tersirat yang perlu dipahami umat Islam, yakni puasa sebagai bentuk kejujuran seorang hamba kepada Tuhannya. Mengenai hal ini, Rasulullah Nabi Muhammad saw bersabda:
Artinya, âSesungguhnya ibadah puasa merupakan amanah (ajang kejujuran), maka bagi kalian semua jagalah amanah tersebutâ. (HR. Imam Jaâfar Kharaithi)
Puasa juga menjadi ibadah paling intim antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dalam pelaksanaannya, seseorang harus bangun di pagi buta tepat sebelum terbit fajar dan menahan diri dari makan minum hingga matahari terbenam.
Jika mau, seseorang bisa saja sembunyi di tempat tertutup untuk membatalkan puasanya, kemudian berpura-pura puasa lagi, lantas tidak ada satu orang pun yang mengetahui status puasanya kecuali Allah. Berbeda dengan ibadah lain, puasa satu-satunya ibadah yang langsung dinilai oleh Allah.
Artinya,â Saâid bin Al-Musayyib memberitahuku bahwa dia mendengar Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda: Allah -Yang Maha Kuasa- berfirman: Setiap amalan keturunan nabi Adam adalah untuk dirinya sendiri kecuali puasa, sebab puasa adalah milikku dan hanya aku yang membalasnyaâ. (HR. Imam Muslim)
Menurut Qadhi Iyadh, seorang hakim madzhab Maliki berkebangsaan Spanyol, dalam kitab syarah haditsnya, Ikmalul Mu'allim bi Fawaid Muslim, menjelaskan bahwa hadits di atas memiliki kecenderungan pada kejujuran seorang hamba dalam berpuasa. Khusus pada kalimat âÙÙ â menunjukkan bahwa puasa merupakan sebagian dari amal saleh yang murni di tunjukkan pada Allah. Sebab ibadah puasa tidak akan bisa di lakukan dalam kondisi riya', seperti halnya ibadah lainnya lantaran pelakunya dalam keadaan menahan.
Kondisi seseorang yang menahan, baik munafik maupun kenyang hampir tak ada bedanya. Hanya niat dan ketulusan yang dapat mempengaruhi ibadah puasa. Shalat, Haji, Zakat merupakan peribadatan yang tampak dan memungkinkan untuk pamer, namun tidak dengan puasa. (Abul Fadhl Iyadh, Ikmalul Mu'allim bi Fawaidi Muslim,[Kairo, Darul Wafaâ:1998], Juz, 4, halaman 110).
Penerapan kejujuran seorang hamba kepada Tuhannya saat berpuasa berdasar pada definisi puasa itu sendiri, yakni menahan (اÙإ٠ساÙ). Sayangnya, banyak sekali orang-orang yang berpuasa menjadi sia-sia dan hanya menyisakan haus dan lapar karena tidak melaksanakan puasa yang sesungguhnya.
Maksud puasa sebenarnya adalah menjaga keseluruhan anggota tubuh dari segala hal-hal yang dimakruhkan Allah, apalagi hal yang haram. Sang Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Bidayatul Hidayah memaparkan gambaran bagaimana puasa yang sesungguhnya:
Artinya, âJangan dikira puasa sebatas meninggalkan makan, minum, menganggur saja. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda âbanyak sekali orang yang berpuasa hanya menyisakan lapar dan kehausanâ (HR. Imam Nasai dan Ibnu Majah) akan tetapi puasa menjadi sempurna tatkala menjaga seluruh anggota tubuh dari hal-hal yang dimakruhkan Allah swtâ. (Abu Hamid Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah,[Kairo, Maktabah Madbuli: 1993], halaman 50).
Imam Al-Ghazali menyematkan hadits dalam penjelasannya sebagai peringatan terhadap umat Islam yang berpuasa, bahwasanya senantiasa untuk menjaga segala anggota tubuh dari perkara-perkara yang dimakruhkan Allah. Sebab konsekuensi bagi orang berpuasa yang tidak menjaga anggota tubuhnya puasanya menjadi sia-sia, hanya menyisakan lapar dan haus.
Alhasil, untuk menghindari kesia-siaan berpuasa maka perlu ditanamkan kejujuran. Untuk mendapatkan puasa yang sempurna, seorang hamba harus melalui kejujuran terhadap Tuhannya dalam berpuasa. Ibadah yang satu-satunya hanya Allah yang memiliki wewenang membalas. Mengingat hal tersebut, mari kita berpuasa dengan jujur. Wallahu aâlam.
Shofi Mustajibullah, Alumni Zahirul Falah Ploso, Mahasantri Pesantren Kampus Ainul Yaqin Malang
Editor: Muhammad Aiz Luthfi
Kolomnis: Shofi Mustajibullah
#KultumRamadhan #Puasa #ramadhaninfo
Sumber : NU Online